TNT NEWS Memasuki usianya yang ke 250 tahun, kerajaan Majapahit (berdiri pada 1293 Masehi) makin rapuh dan pengaruhnya pun makin memudar pada abad 15.
Kerajaan yang pernah sangat besar ini begitu menyedihkan kondisinya akibat berbagai kemunduran, terutama perang saudara yang berlarut-larut sehingga walaupun masih ada, namun seperti tidak memiliki wibawa lagi.
Di wilayah yang terhitung masih sangat dekat letaknya dari kotaraja Majapahit, yakni di Gresik bahkan bisa berdiri sebuah kerajaan dan pondok pesantren Islam pertama bernama Kedatuan Giri atau Giri Kedaton.
Sejarah Kedatuan Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, satu diantara wali penyebar Islam terkemuka di Jawa bernama Wali Songo atau sembilan wali, dimulai pada abad ke-15.
Wali Songo merupakan kelompok ulama yang pertama kali menyebarkan agama Islam di nusantara, sejalan dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yakni Kesultanan Demak dan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Buddha.
Sunan Giri, yang juga dikenal sebagai Raden Paku, Joko Samudro, adalah murid Sunan Ampel yang merupakan pendiri pondok pesantren Ampeldento di Surabaya. Ibunda Sunan Giri bernama Dewi Sekardadu, putri bangsawan Menak Sembuyu dari Kerajaan di ujung timur pulau Jawa Banyuwangi atau Blambangan, sedangkan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, adalah seorang ulama yang berasal dari Asia Tengah.
Menurut Hikayat Banjar, Sunan Giri atau Pangeran Giri memiliki garis keturunan dari Kesultanan Samudera Pasai, Kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan di Bali, dan juga Kerajaan Blambangan dari pihak ibunya.
sebuah privelege yang istimewa dilahirkan dengan karunia demikian.
Namun perlu juga dipahami bahwa hikayat merupakan sumber sejarah yang memiliki tingkatan rendah, yang artinya hikayat belum bisa jadi rujukan utama.
Dalam buku berjudul Nyarkub: Menyulam Silam (2020), M. Lutfi Ghozali mengisahkan perjalanan Sunan Giri, yang awalnya dikenal sebagai Raden Paku, saat ia datang kepada Sunan Ampel untuk memohon izin untuk melakukan ibadah haji ke tanah suci.
Sunan Ampel mengarahkannya untuk bertemu terlebih dahulu dengan ayahnya, yaitu Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu tinggal di Malaka atau Pasai (Aceh). Akhirnya, Raden Paku menjadi murid ayahnya.
Syekh Maulana Ishaq tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengenai ilmu politik dan pemerintahan kepada Raden Paku.
Dalam buku berjudul Nyarkub: Menyulam Silam (2020), M. Lutfi Ghozali mengisahkan perjalanan Sunan Giri, yang awalnya dikenal sebagai Raden Paku, saat ia mendatangi Sunan Ampel untuk meminta izin untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Sunan Ampel meminta muridnya itu untuk terlebih dahulu menemui ayahnya, yaitu Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu tinggal di Malaka atau Pasai (Aceh). Akhirnya, Raden Paku menjadi murid sang ayah. Syekh Maulana Ishaq tidak hanya memberikan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan ilmu politik dan pemerintahan kepada Raden Paku.
Dalam buku berjudul Nyarkub: Menyulam Silam (2020), M. Lutfi Ghozali mengisahkan perjalanan Sunan Giri, yang awalnya dikenal sebagai Raden Paku, saat ia mendatangi Sunan Ampel untuk meminta izin untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Sunan Ampel meminta muridnya itu untuk terlebih dahulu menemui ayahnya, yaitu Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu tinggal di Malaka atau Pasai (Aceh). Akhirnya, Raden Paku menjadi murid sang ayah. Syekh Maulana Ishaq tidak hanya memberikan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan ilmu politik dan pemerintahan kepada Raden Paku.
Setelah beberapa waktu, Syekh Maulana Ishaq meminta Raden Paku untuk kembali ke Jawa. Ia memberikan segenggam tanah dan memerintahkan putranya untuk mendirikan pesantren di tempat yang memiliki jenis tanah yang sama. Ditemani oleh dua utusan ayahnya, yaitu Syekh Grigis dan Syekh Koja, Raden Paku kembali ke Jawa dan mencari lokasi yang dimaksud. Akhirnya, mereka menemukan lokasi yang tepat di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kebomas, di Gresik, Jawa Timur.
Raden Paku, Syekh Grigis, dan Syekh Koja membangun pesantren di daerah tersebut.
Menurut Dukut Imam Widodo dalam Grissee Tempo Doeloe (2004), pesantren ini mulai dibangun pada tahun 1481. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Giri.
Kedatuan Giri sebenarnya merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang pada saat itu semakin melemah karena kehilangan wilayah taklukannya. Majapahit bahkan memberikan status otonomi kepada daerah Giri. Situasi ini memberikan kesempatan bagi Raden Paku atau Sunan Giri untuk mendirikan pemerintahan kecil di pesantrennya, yang kemudian dikenal dengan nama Giri Kedaton,
Pesantren ini mengalami kemajuan yang pesat karena kharisma pemimpinnya dan kemampuan berpolitik yang sanggup menempatkannya sebagai penengah dalam sejumlah konflik.
Kedatuan Giri, atau Kerajaan Giri akhirnya memisahkan diri dari Majapahit yang semakin melemah pengaruhnya.
Sunan Giri menjadi “raja pandhita” atau raja ulama penguasa Giri dengan gelar Prabu Satmata atau Sultan Abdul Faqih, yang memimpin dari tahun 1487 hingga 1506 Masehi.
Giri Kedaton tetap ada setelah meninggalnya Sunan Giri pada tahun 1506.
Kepemimpinan kerajaan ini berlanjut secara turun-temurun hingga ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram Islam pada tahun 1636. Setelah tunduk kepada Kesultanan Mataram Islam yang saat itu dipimpin oleh Sultan Agung (1613–1645), status Giri Kedaton tidak lagi sebagai kerajaan mandiri, melainkan berubah menjadi wilayah vasal atau taklukan.
Berikut ini adalah daftar pemimpin Giri Kedaton:
- Sunan Giri/Prabu Satmata (1481–1506)
- Sunan Dalem/Sunan Giri II (1506–1546)
- Sunan Seda ing Margi/Sunan Giri III (1546–1548)
- Sunan Prapen/R.M. Pratikal/Sunan Giri IV (1548–1605)
- Sunan Kawis Guwa/Sunan Giri V (1605–1616)
- Panembahan Ageng Giri (1616–1636)
- Panembahan Mas Witana/Sideng Rana (1638–1660)
- Pangeran Puspa Ita (1660–1680)
Bekas kedaton Giri kini berada di Gunung Giri, Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik.
Dari alun-alun pusat kota Gresik bisa dengan mudah dicapai kurang dari 15 menit karena hanya berjarak 3 kilometer saja.
Sumber : Kekunoan.com