banner 728x250

Akhir Kejayaan Kerajaan Pajajaran 

banner 120x600

TNT NEWS Pada tahun 1579 menjadi batas akhir sebuah era dari kerjaan Pakuan Pajajaran, pusat kebanggaan Kerajaan Sunda, akhirnya runtuh setelah berdiri kokoh selama 909 tahun (669–1579 M).

Kejayaan yang pernah membanggakan itu sirna, menyisakan kenangan akan perlawanan gigih, strategi politik yang penuh intrik, serta luka sejarah yang tak akan hilang dari ingatan.

Img 20250220 Wa0037

Namun, kehancuran ini bukan terjadi dalam semalam. Awan gelap kemunduran telah menggantung sejak masa Prabu Surawisesa (1521–1535), putra Prabu Siliwangi sang pemimpin visioner yang membangun Pakuan dengan sistem pertahanan canggih, hutan Samida yang suci, serta kanal-kanal pelindung kota.

Sejarah mencatat, Prabu Surawisesa adalah raja yang berani, bertahan di tengah ancaman besar.

Dalam Carita Parahiyangan beliau  disebutkan menghadapi 15 pertempuran selama 14 tahun pemerintahannya, berusaha mempertahankan wilayahnya dari ekspansi Demak dan Cirebon.

Saat Sunda Kelapa menjadi sasaran, ia berusaha mencari sekutu. Pada 1522, perjanjian pun ditandatangani dengan Portugis, sebuah langkah yang seharusnya membawa harapan baru.

Namun, realitas tak selalu sesuai rencana. Sunda Kelapa jatuh sebelum pertolongan datang, menjadi tanda bahwa kekuasaan  Demak dan Cirebon semakin erat.

Surawisesa terus berjuang, mempertahankan pelabuhan-pelabuhan vital seperti Kalapa dan Galuh.

Namun, tekanan yang tak henti-hentinya membuat pertahanan kerajaan kian rapuh. Meskipun begitu, di tengah badai, ia tetap mengenang kejayaan masa lalu.

Pada 1533, ia mendirikan Prasasti Batutulis untuk menghormati ayahnya, Prabu Siliwangi, serta menuliskan kisah gemilang yang semakin jauh tertinggal di belakang.

Seiring waktu, situasi semakin memburuk. Ratu Dewata yang menggantikan Surawisesa harus menghadapi serangan langsung ke jantung Pakuan. Walaupun berhasil dipukul mundur, serangan itu memperjelas satu hal: Pajajaran tidak lagi sekuat dulu.

Raja-raja berikutnya Ratu Sakti (1543–1551) dan Prabu Nilakendra (1551–1567) mewarisi kerajaan yang terus digempur dari segala arah.

Prabu Nilakendra berusaha membangun kembali kejayaan dengan mempercantik istana dan memperbaiki kota, tetapi rakyat mulai kehilangan harapan. Kepercayaan terhadap pemerintahan mulai melemah, ketakutan merajalela, dan ancaman Banten serta Cirebon semakin dekat.

Akhirnya, 1579 menjadi tahun yang mengubah segalanya. Maulana Yusuf dari Banten memimpin pasukannya dalam serangan besar ke Pakuan.

Pertahanan yang dulu kokoh tak mampu lagi bertahan. Menurut Carita Parahiyangan, pengkhianatan seorang komandan menjadi pemicu kehancuran, dengan membuka gerbang kota bagi musuh. Pakuan pun jatuh.

Tanggal 8 Mei 1579 (11 Rabiulawal 987 H) menandai sirnanya Pajajaran dari muka bumi. Ungkapan pahit sirna ing bhumi menjadi epitaf bagi kerajaan Hindu terakhir di tanah Sunda.

Namun, Pajajaran tidak benar-benar hilang. Jejaknya tetap hidup dalam prasasti, naskah kuno, dan kisah yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Keberanian, kehormatan, dan cinta tanah air yang diwariskan oleh para rajanya menjadi inspirasi abadi. Keruntuhan Pajajaran bukan sekadar akhir sebuah kerajaan, tetapi awal dari babak baru sejarah Nusantara. Sebab meski temboknya telah runtuh, semangatnya tetap abadi dalam ingatan bangsa.

Dari Berbagai Sumber

Img 20250327 Wa0101
Img 20250327 Wa0106

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *